BITUNG - Jadi wanita penghibur bukanlah cita-cita. Keadaanlah yang memaksa seseorang perempuan terjun ke dunia gemerlap ini.
BAGI Lanny (32), bukan nama sebenarnya, membesar dan menyekolahkan anak yang paling utama. Ia tak punya jalan lain dan terpaksa bekerja sebagai wanita panggilan di Bitung.
Ia rela menanggung kehinaan demi membesarkan anak gadis semata wayangnya yang masih remaja. "Saya terpaksa melakukan ini," kata dia kepada Tribun Manado, Selasa (21/4).
Lanny menuturkan, ia terjun ke dunia gelap setelah sang suami meninggal beberapa tahun lalu. Menurut wanita berkulit putih ini, kehidupannya bersama sang suami sempurna, hingga maut menjemput suaminya. "Ia kecelakaan mobil," ujarnya.
Sepeninggal suaminya, Lanny dilanda depresi. Ia sempat dibawa ke rumah sakit. Di sana, Lanny berteriak-teriak. "Saya waktu itu merasakan kesedihan yang sangat," ujarnya. Begitu keluar rumah sakit, ia dinasehati saudaranya untuk tidak terus terpuruk.
Pada akhirnya ia tiba pada suatu kesadaran dimana, dirinya tak lagi penting, yang penting adalah anaknya. Tak jelas betul apakah kesadaran itulah yang menuntun Lanny menekuni dunia gelap, karena ia enggan membebernya. "Yang pasti saya kini bisa sekolahkan anak, luar biasanya anak saya selalu juara, itu membanggakan saya," kata dia.
Lanny sedapat mungkin berusaha menyembunyikan pekerjaan sesungguhnya dari anaknya. Hingga kini anaknya tahu jika dirinya adalah wanita karier. "Saya tak mau terus seperti ini, saya segera keluar dari sini, modal saya cukup," kata dia.
Takut "karma" ia selalu mengontrol perilaku anaknya.
Ia melarang keras anaknya pacaran. "Takut jika ia seperti saya. Saya mau ia jadi dokter hingga bisa menyelamatkan orang celaka, agar tak ada yang seperti saya," kata dia.
Malam sebelum tidur, baik sendirian maupun bersama pelanggan, ia selalu memanjatkan doa pada Tuhan agar mengampuni dosanya itu. "Ini terpaksa, saya harap suami maafkan saya," kata dia.
Perempuan yang satu ini pun tidak pernah pasrah pada keadaan. Selalu teguh berjuang dan memperjuangkan hidup. Didorong rasa kasih sayang serta tanggung jawab, Nirda Muleru (50), menjadi kuat, bahkan bisa menjalankan tugas seorang lelaki.
Saat menemui Tribun Manado, Selasa (21/4), di tempat kerjanya, kesan pertama yang muncul dari Nirda adalah ia wanita bahagia. Senyumnya berkembang, matanya berbinar-binar.
Ternyata, wanita berkulit hitam ini menyimpan pergumulan dalam hidup. Sendirian, ia harus membiayai ketiga anaknya yang masih remaja.
Suaminya meninggal setahun yang lalu. Pendapatannya sebulan sebagai karyawan sebuah perusahaan ikan tak cukup, hingga ia sering mengambil lembur. "Kalau tak lembur mana bisa makan," kata dia.
Ia menuturkan, penderitannya bermula ketika sang suami mengalami sakit dua tahun yang lalu. Sejak itu, ia sendirian bekerja lantaran sang suami terpaksa berhenti kerja. "Ia sakit rematik akut," ujarnya.
Nirda bekerja sangat keras untuk mengongkosi ketiga anaknya serta mengobati suaminya. Ia mengambil lembur agar dapat penghasilan tambahan. "Saya lembur sampai pukul 03.00 Wita," kata dia.
Di perusahaan ikan itu, Nirda bekerja di bidang sirkulasi. Hal itu mengharuskannya berada di ruangan yang sangat panas untuk jangka waktu yang lama. Sering ia merasa pusing. Beberapa kali ia nyaris pingsan. Nirda sering merasa sakit.
Namun ia tetap memaksakan diri masuk kerja. "Jika tak masuk kerja tak dapat uang," ujarnya.
Karena semua penghasilannnya tersedot untuk biaya hidup sang suami, ketiga anaknya terpaksa berhenti sekolah. Hal itu sangat disesalkannya. "Tapi kami sudah tak ada uang," kata dia. Tahun lalu, sang suami akhirnya meninggal dunia. Nirda terperosok ke dalam duka yang dalam. "Saya katakan, Tuhan kenapa engkau beri cobaan seperti ini," ujarnya.
Pada akhirnya kasih sayang kepada tiga anaklah yang mengembalikan dia ke jalur seorang pejuang. Ia menghapus airmatanya, menyingsingkan lengan baju, lantas kembali ke pabrik. "Biar anak saya sudah tak sekolah tapi saya tetap ingin mengongkosi mereka," ujarnya.
Malang seakan tak pernah berhenti menimpanya. Beberapa bulan lalu ia terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). "Perusahaan itu tak menggaji sesuai upah minimum provinsi (UMP), lantas menyuruh PHK," kata dia.
Nirda memilih melawan. Ia melakukan unjuk rasa bersama puluhan karyawan lainnya. Ia sangat berharap diterima di perusahaan. Jika tidak, ia akan cari kerja lain. "Pokoknya saya menolak menyerah pada hidup," kata dia. manado.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar