Penggusuran Lahan erfphact
(eks-HGU) PT Ranomuut, di Kelurahan Manembo-nembo, Sagerat dan Tanjung Merah,
akhirnya benar-benar dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Bitung. Jerit-tangis
pemilik bangunan di lahan yang akan dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK),
menyayat
hati siapapun yang dapat mendengarnya.
Aparat Keamanan dari Satuan
Polisi Pamong Praja, Polisi dari berbagai Satuan (termasuk Sat Brimob Polda
Sulut), dan TNI dari 3 matra ( AD, AL, AU), merangsek mengiringi alat berat
menjebol portal yang dijaga warga. Anak-anak sekolah yang merupakan anak dari
warga yang tinggal di Lahan MASATA, melolong kesakitan terhimpit barikade
aparat yang tetap merangsek maju untuk gusur pemukiman warga.
Masyarakat MASATA,
sebenarnya tidak mempermasalahkan penggusuran atau yang Pemda sebut sebagai pengosongan
lahan. Namun masyarakat yang juga warga Kota Bitung, bahkan Warga Negara
Indonesia, menginginkan musyawarah sebelum penggusuran. Mereka menginginkan
keadilan pemerintah, paling tidak ganti rugi bangunan yang telah mereka
dirikan.
Warga menyesalkan kebrutalan
aparat keamanan yang ” disewa ” Pemda Kota Bitung. Apalagi dasar penggusuran
tersebut hanya Surat Perintah yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Tata Kota
Pemda Kota Bitung, Steven Tuwaidan. LBH Manado yang mendampingi warga menuding
terjadi pelanggaran hukum dan HAM atas penggusuran lahan MASATA, karena proses
peradilan kini masih berproses di PN Bitung dan PTUN. Artinya status lahan
tersebut status quo.
Muara dari permasalahan
tersebut adalah terusiknya rasa keadilan rakyat. Untuk mengurai dan memecahkan
permasalahan tersebut diperlukan kebijakan struktural yang menyentuh akar
masalah. Yang terjadi dalam “tragedi” MASATA yakni tidak adanya akses
masyarakat miskin terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama tanah serta akses
politik.
Reformasi Agraria sesuai
dengan UU Pokok Agraria No 05 Tahun 1960, menyebutkan bahwa hubungan warga
dengan atanahnya bersifat abadi. Hubungan ini sangat berdampak pada kemakmuran,
kesejahteraan, dan keadilan yang berkelanjutan, serta harmoni kehidupan
berbangsa dan bernegara. Reformasi Agraria merupakan perpanjangan tangan dari
amanat UUD 1945, bahwa tanah dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran
masyarakat.
Standar Ganda
Pemda Kota Bitung dalam
penggusuran lahan MASATA, hanya menyiapkan angkutan untuk memindahkan
barang-barang mereka, dan Rusunawa sebagai alternatif tempat tinggal bagi yang
tidak memiliki tempat menginap, dengan segala keterbatasan fasilitas. Inilah
yang dirasakan masyarakat MASATA tidak adil. Karena sangat bertolak belakang
dengan Pembebasan lahan erfphact (eks-HGU) PT Kuala Tembaga, untuk pembangunan
Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan ( PSDKP). Saat itu
pemerintah memberikan ganti rugi tanaman, seperti pohon kelapa, pisang, nangka
dan lain-lain, kepada kuasa perusahaan tersebut. Nilai ganti rugi tanaman
senilai 3,6 Miliar Rupiah.
Standar ganda dalam
pembebasan lahan KEK dengan Pangkalan PSDKP, sungguh mengusik rasa keadilan
rakyat kecil. Terlepas dari laporan pegiat anti korupsi Berty Lumempouw ke KPK
dan Mabes Polri, tentang dugaan “mark up” dalam pembebasan lahan Pangkalan
PSDKP. Nyatanya kasus yang telah dilaporkan sejak 2012 tersebut, hingga kini
belum ada tersangka, yang harus bertanggung jawab dalam pembebasan lahan
tersebut.
Alangkah lebih elok jika
penyidik yang menangani kasus tersebut untuk segera meningkatkan status kasus
menjadi penyidikan, atau sama sekali menghentikan kasus tersebut(SP3), sehingga
dapat menjadi acuan (jurisprudensi) dari pemerintah untuk memberikan ganti rugi
kepada rakyat. sumber:bitungnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar