Cuaca
ekstrem yang terjadi selang bulan Juni hingga Agustus 2015 berdampak warga
tidak bisa pergi melaut.
Akibatnya
nasi, ikan dan sayur tak komplit lagi disajikan di atas meja makan.
Inilah
yang dialami Frets Sandiri (60) warga Kelurahan Motto
lingkungan I RT 3
Kecamatan Lembeh Utara, mata pencariannya sebagai nelayan khusus tangkap
cumi-cumi atau yang terkenal di mata masyarakat dengan sebutan suntung sudak
tidak digeluti lagi.
"Bagaimana
mau pergi melaut, ombak tinggi dan angin kencang. Sementara perahu yang kami
gunakan melaut perahu kantinting menggunakan sema-sema," keluh Sandiri
saat diwawancarai Sabtu (28/8/2015).
Di
atas perahu berkapasitas satu orang awak, Sandiri enggan menggambil risiko
pergi melaut meski harus menanggung akibat tidak ada hasil tangkapan untuk di
jual dan hasil penjualannya dipergunakan untuk memenuhi kebutuhan makan dan
minum sehari-hari.
"Saat
keadaan cuaca normal tak berangin dan berombak setiap hari bisa bisa memperoleh
tangkapan Cumi dua sampai tiga ember, per embernya dijual Rp 150 ribu,"
tambahnya.
Kondisi
seperti ini sudah berlangsung sejak bulan Juli hingga akhir Agustus dan diperkirakan
akan normal pada akhir September 2015.
Namun
dari pengalaman yang sudah dilalui kondisi cuaca ekstrem di laut bisa
berlangsung lama hingga bulan Desember.
"Untuk
makan sehari-hari mengandalkan pada bantuan pemerintah seperti beras raskin,
untuk lauknya ganti tahu kalau sayur masih bisa dijangkau banyak di halaman
rumah yang ditanam seperti sayur bunga pepaya dan lainnya," kata dia.
Nelayan
cumi lainnya yang merasakan dampak signifikan dari cuaca ekstrem yang terjadi
di laut tidak bisa berbuat apa-apa lagi.
Mau
melaut sulit perkebun pun tanah kering dan gersang akibat musim kemarau yang
terjadi terus menerus.
"Pencarian
utama kami melaut karena angin dan ambok kencang tidak melaut, sehingga hanya
berdiam diri setiap hari hanya duduk di dego-dego depan rumah," keluh Nano
nelayan di Kecamatan Matuari tepatnya di Kelurahan Tanjung Merah.
Sempat
tersirat dibenaknya untuk bertani menanam tanaman bisa menghasilkan selanjutnya
dijual ke pasaran, namun nait itu dipatahkan oleh cuaca kemarau yang tak tau kapan
berakhirnya.
"Kalau
hujan bisa bertani namun karena panas semua kering. Sesekali harus
pandai-pandai mensiasati kondisi cuaca yang terjadi nekad pergi melaut
dipinggiran atau tepi pantai saja karena kalau di tengah laut berombak,"
tukasnya. sumber:manado.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar