BITUNG - Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan
nomor 56 dan 57 tahun 2014 yang berkaitan dengan Penghentian Sementara
(Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan
Negara Republik Indonesia, berimbas pada melemahnya dunia perikanan di Kota Bitung.
“Disatu
sisi saya memberikan apresiasi atas kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan
yang menambah penghasilan pengusaha kecil dan nelayan, serta untuk mencegah
ilegal fishing, tetapi disisi lain kebijakan tersebut melemahkan dunia
perikanan Kota Bitung, banyak perusahaan perikanan yang goyang bahkan gulung
tikar, dan juga tenaga kerja banyak yang dirumahkan,” ujar Keegen Matindas
Kojoh, Anggota DPRD Kota Bitung, Selasa (9/2).
Ia
menjelaskan, harusnya ada kebijakan khusus untuk Kota Bitung terkait dengan
Moratorium, karena hasil tangkapan pajeko dan nelayan pelagis (ikan yang
hidup di lapisan permukaan perairan pantai) kecil, itu hanya untuk memenuhi
pasar lokal, tidak mampu memenuhi kebutuhan pasar global.
“Harus
ada langkah kongkrit untuk mencari solusi terkait dengan moratorium tersebut
khususnya untuk Kota Bitung dimana sektor perikanan menjadi salah satu
primadona yang menggerakkan roda perekonomian, misalnya dengan mempermudah
pengurusan Izin bagi pengusaha perikanan, atur ukuran jaring sehingga ikan
kecil yang belum bertelur tidak ikut terjaring dengan cara mata jaring
diperbesar, dan kebijakan lain yang bisa menggairahkan dunia perikanan Kota
Bitung,” jelasnya.
Ia
juga menambahkan, saat ini pengusaha Perikanan diperhadapkan
dengan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 75 tahun 2015 tentang jenis dan
tarif atau jenis PNBP untuk usaha perikanan tangkap skala besar, PHP naik dari
2,5 persen menjadi 25 persen, usaha skala kecil naik dari 1,5 persen menjadi 5
persen, sedangkan PHP untuk usaha skala menengah ditetapkan sebesar 10 persen,
PHP tersebut dibayar setiap tahun dan dipungut di depan. manadoline.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar