Selasa, 09 Februari 2016

Quo Vadis Keadilan Agraria



Penggusuran Lahan erfphact (eks-HGU) PT Ranomuut, di Kelurahan Manembo-nembo, Sagerat dan Tanjung Merah, akhirnya benar-benar dilakukan oleh Pemerintah Daerah Kota Bitung. Jerit-tangis pemilik bangunan di lahan yang akan dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK), menyayat
hati siapapun yang dapat mendengarnya.

Aparat Keamanan dari Satuan Polisi Pamong Praja, Polisi dari berbagai Satuan (termasuk Sat Brimob Polda Sulut), dan TNI dari 3 matra ( AD, AL, AU), merangsek mengiringi alat berat menjebol portal yang dijaga warga. Anak-anak sekolah yang merupakan anak dari warga yang tinggal di Lahan MASATA, melolong kesakitan terhimpit barikade aparat yang tetap merangsek maju untuk gusur pemukiman warga.

Masyarakat MASATA, sebenarnya tidak mempermasalahkan penggusuran atau yang Pemda sebut sebagai pengosongan lahan. Namun masyarakat yang juga warga Kota Bitung, bahkan Warga Negara Indonesia, menginginkan musyawarah sebelum penggusuran. Mereka menginginkan keadilan pemerintah, paling tidak ganti rugi bangunan yang telah mereka dirikan.

Warga menyesalkan kebrutalan aparat keamanan yang ” disewa ” Pemda Kota Bitung. Apalagi dasar penggusuran tersebut hanya Surat Perintah yang ditandatangani oleh Kepala Dinas Tata Kota Pemda Kota Bitung, Steven Tuwaidan. LBH Manado yang mendampingi warga menuding terjadi pelanggaran hukum dan HAM atas penggusuran lahan MASATA, karena proses peradilan kini masih berproses di PN Bitung dan PTUN. Artinya status lahan tersebut status quo.

Muara dari permasalahan tersebut adalah terusiknya rasa keadilan rakyat. Untuk mengurai dan memecahkan permasalahan tersebut diperlukan kebijakan struktural yang menyentuh akar masalah. Yang terjadi dalam “tragedi” MASATA yakni tidak adanya akses masyarakat miskin terhadap sumber-sumber ekonomi, terutama tanah serta akses politik.

Reformasi Agraria sesuai dengan UU Pokok Agraria No 05 Tahun 1960, menyebutkan bahwa hubungan warga dengan atanahnya bersifat abadi. Hubungan ini sangat berdampak pada kemakmuran, kesejahteraan, dan keadilan yang berkelanjutan, serta harmoni kehidupan berbangsa dan bernegara. Reformasi Agraria merupakan perpanjangan tangan dari amanat UUD 1945, bahwa tanah dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran masyarakat.

Standar Ganda
Pemda Kota Bitung dalam penggusuran lahan MASATA, hanya menyiapkan angkutan untuk memindahkan barang-barang mereka, dan Rusunawa sebagai alternatif tempat tinggal bagi yang tidak memiliki tempat menginap, dengan segala keterbatasan fasilitas. Inilah yang dirasakan masyarakat MASATA tidak adil. Karena sangat bertolak belakang dengan Pembebasan lahan erfphact (eks-HGU) PT Kuala Tembaga, untuk pembangunan Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan ( PSDKP). Saat itu pemerintah memberikan ganti rugi tanaman, seperti pohon kelapa, pisang, nangka dan lain-lain, kepada kuasa perusahaan tersebut. Nilai ganti rugi tanaman senilai 3,6 Miliar Rupiah.

Standar ganda dalam pembebasan lahan KEK dengan Pangkalan PSDKP, sungguh mengusik rasa keadilan rakyat kecil. Terlepas dari laporan pegiat anti korupsi Berty Lumempouw ke KPK dan Mabes Polri, tentang dugaan “mark up” dalam pembebasan lahan Pangkalan PSDKP. Nyatanya kasus yang telah dilaporkan sejak 2012 tersebut, hingga kini belum ada tersangka, yang harus bertanggung jawab dalam pembebasan lahan tersebut.

Alangkah lebih elok jika penyidik yang menangani kasus tersebut untuk segera meningkatkan status kasus menjadi penyidikan, atau sama sekali menghentikan kasus tersebut(SP3), sehingga dapat menjadi acuan (jurisprudensi) dari pemerintah untuk memberikan ganti rugi kepada rakyat. sumber:bitungnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar