Sembilan
tahun lamanya, Helmianti Mareteng, pekerja PT DPI bersabar dengan gaji di bawah
upah minimum provinsi (UMP) serta status pekerja paruh waktu tertentu. Namun,
Selasa (25/1), kesabarannya habis juga.
Wanita
parubaya ini memilih ikut mogok kerja bersama 600
pekerja lainnya. Mereka
memprotes kebijakan on off yang diterapkan perusahaan serta status pekerja
paruh waktu.
Akibat
kebijakan itu, Helmianti kehilangan setengah penghasilannya. Dari Rp 2 juta
sebulan tinggal Rp 600 ribu.
"Kami
dibayar per harinya Rp 96 ribu, sistem on off membuat kami tak bisa masuk
setiap hari," ujar Helmi. Dia
mengaku sulit membiayai kehidupan keluarganya. Apalagi, sang suami yang juga
bekerja di perusahaan itu, hanya menerima gaji Rp 300 ribu per bulan.
"Makan saja susah," ujar dia.
Membiayai
sekolah ketiga anaknya merupakan kesulitan terbesar Helmianti. Sebutnya, kedua
anaknya sudah tak lagi menerima uang jajan. "Yang
masih kecil hanya terima Rp 5.000, padahal biasanya Rp 1.000," ujar dia. Meski
sudah kepayahan, ia masih tetap ingin bertahan di perusahaan itu. Ia tak
tergoda pindah pekerjaan lain.
"Kami
bisa hidup karena bekerja di sini, hanya kami minta agar perusahaan bisa
mengangkat kami sebagai pegawai tetap atau paling tidak menghapuskan sistem on
off," kata dia. Aksi
pemogokan berlangsung di depan perusahaan. Para pekerja duduk di halaman depan
perusahaan. Pukul
12 siang, puluhan siswa SD mendatangi tempat itu. Mereka adalah anak -anak dari
para pekerja. Suara rengekan minta uang terdengar dari beberapa anak.
"Anak
saya minta uang untuk beli buku cetak, saya hanya bisa berkata sabar nak,
minggu depan, padahal untuk bisa hidup sampai besok saja sudah merupakan sebuah
anugerah," kata Lily, pekerja. Dia
mengatakan, sang suami yang masih sakit terpaksa bekerja sebagai tukang ojek
demi mengongkosi keluarga. Lily
juga tambah pusing dengan ancaman pemilik tempat kos dimana mereka tinggal.
"Katanya
kalau tak bayar kami harus angkat kaki dari sini," kata dia. Jermias
Maluenseng yang mewakili para pekerja mengatakan, pihaknya sudah berdemo selama
tiga hari. Selama itu tidak ada respon dari perusahaan. "Jika tidak
direspon kami akan ke Disnaker," ujar dia. Pihak
perusahaan tidak bisa dikonfirmasi.
Para
sekuriti beralasan pimpinan sedang ada agenda penting. Kadisnaker
Bitung Arnold Karamoy mengatakan, pihaknya siap mengeluarkan surat rekomendasi
penyelesaian perkara. Disebut Karamoy, pihaknya tak bisa berbuat lebih dari itu
karena pengawasan merupakan wewenang dari provinsi. sumber:manado.tribunnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar