Ancaman
perpecahan dan konflik horisontal di tingkat grass root (pendukung) dalam
pilkada serentak, menjadi masalah serius dalam sejarah hajatan demokrasi lima
tahunan. Aroma perpecahan semerbak saat kader partai politik, yang berjuang
membesarkan Partai masing-masing tak terakomodir dalam pencalonan kepala
daerah.
Perpecahan
di tubuh partai politik yang pertama terjadi di tubuh Partai Nasional Demokrat,
Anthonius Supit, legislator dari partai berjargon restorasi tersebut harus
gigit jari, meskipun dalam Pemilu legislatif lalu menjadi yang terbanyak
mengumpulkan pundi-pundi suara terbanyak, dengan 3015 suara. Anthonius Supit
harus legowo dengan keputusan DPP Partai Nasdem, yang lebih memilih Max Lomban,
yang kini masih menjabat Wakil Walikota Bitung. Keputusan sepihak DPP Nasdem,
menyakiti sebagian besar pendukung dan sebagian pengurus partai tersebut
menyatakan mundur dari kepengurusan Partai tersebut. Meski dalam berbagai
kesempatan, Anthonius Supit menyatakan dukungan terhadap calon walikota dari
DPP Nasdem, namun tak demikian dengan pendukung, simpatisan serta sebagian
mantan pengurus Partai Nasdem.Perpecahan di tubuh Partai Nasdem menjadi yang
pertama, karena Partai tersebut yang pertama mendeklarasikan Max Lomban sebagai
Walikota.
Perpecahan
yang kedua di tubuh PDI-Perjuangan, Partai yang memang kental dengan nuansa
tradisionalisme, dengan figur sentral Megawati Soekarno Poetri, memang sudah
terbiasa dengan pencalonan kepala daerah yang ditetapkan oleh seorang Mega.
Namun yang disesalkan sejumlah kader Partai banteng moncong putih ini,
bargaining position partai lemah hingga Ketua DPC PDI-P, Maurits Mantiri, harus
legowo sebagai Wakil Walikota dari Partai Nasdem, Max Lomban. Tak sedikit kader
dan simpatisan Partai yang sakit hati, hingga menjatuhkan pilihan ke pasangan
lain.
Aroma
yang paling menyengat perpecahan yang terjadi di tubuh Partai pemenang Pemilu
dan Pilkada selama 10 tahun terakhir di kota Bitung, PKPI. Partai yang dipimpin
oleh Walikota Bitung, Hanny Sondakh, menjatuhkan pilihan ke pasangan Hangky
Honandar – Fabian Kaloh. Tim penjaringan Calon Walikota-Wakil Walikota partai
tersebut merasa dilecehkan dan dipermainkan oleh invisible hand. Dari awal
penjaringan, PKPI berjanji mengutamakan kader partai untuk maju sebagai calon
walikota-wakil walikota 2016 – 2021. Namun akhirnya partai yang memiliki 6
kursi legislatif atau memenuhi 20 % suara, menjatuhkan pilihan kepada
Honandar-Kaloh, tanpa penjelasan dari DPN PKPI maupun DPK. Saat pendaftaran
sebagian kader partai PKPI mengiringi langkah Max Lomban – Maurits Mantiri,
sebagian lain mengiringi Aryanti Baramuli Putri – Santy Gerald Luntungan,
mereka ini menamakan diri laskar Garuda Luka (Garuk), sebagai bentuk protes
atas keputusan sepihak DPN PKPI.
Perpecahan
juga terjadi di tubuh Partai Golkar, Calon Walikota yang digadang-gadang DPD
Golkar Bitung, Cindy Wurangian, juga harus gigit jari. Beratnya syarat dari KPU
yang mengharuskan calon dari partai yang sedang dirundung konflik tersebut,
harus ada SK dari masing-masing kubu, kubu Abu Rizal Bakrie/ Munas Bali dan
kubu Agung Laksono/ Munas Ancol. Dalam detik-detik terakhir Aryanti Baramuli
mengantongi SK dari dua kubu yang berseteru. Secara lisan petinggi DPD Golkar
Bitung mendukung ABP-SGL, namun faktanya sejumlah kader mendukung pasangan
lain.
Perpecahan
juga terjadi di sejumlah partai politik dengan satu dan dua kursi, seperti
Hanura, PPP, PAN, dan PKB. Artinya representasi kursi parpol dalam dukungan
calon walikota dan wakil walikota bukan jaminan mesin parpol dan dukungan kader
mengalir terhadap pasangan calon yang diusung.
Undang-Undang
Pilkada yang sentralistik, seperti saat ini sebenarnya digugat oleh sebagian
kader Parpol di tingkat DPC/ DPD/ DPW. karena undang-undang tersebut dapat
dikatakan sebagai reinkarnasi Budaya Paternalistik seperti jaman Orde Baru.
Aksioma politik dari Lord Acton, Power tend to corrupt and absolute power tend
to corrupt absolutely menjadi anomali dalam era reformasi saat ini. Seleksi
partai politik dalam pilkada hanya mengikuti libido elite DPP Parpol. Hingga
aroma mahar politik untuk selembar kertas bernama SK dari DPP, menjadi kitab
suci dalam Pilkada saat ini…Bagaimana menurut anda….? sumber:bitungnews.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar