Selasa, 02 Juni 2015

Buruh Bitung Bawa Peti Mati, Demo Ricuh



BITUNG - Aksi demo yang dilakukan eks Karyawan PT Manadominta Citrataruna berujung ricuh, di mana massa terlibat aksi dorong dengan polisi yang berjaga di depan pintu gerbang hingga lemparan air berbau busuk menimpa petugas kepolisian, Senin (1/6/2015).
Kericuhan terjadi karena pertemuan perwakilan buruh dan kuasa hukum perusahan yang bergerak di bidang pangasapan ikan tersebut menemui jalan buntu, pihak buruh ngotot ingin bertemu dan bernegosiasi dengan owner perusahan sementara yang terjadi pihak perusahan diwakilkan oleh kuasa hukum.
Dalam aksi demo tadi pihak buruh bersama dua orang anggota DPRD Bitung melakukan orasi sambil membawa peti mati berwarna hitam.
"Kami tidak mau lagi bertemu dengan kuasa hukum, yang sudah berulang-ulang terjadi. Kami hanya ingin ketemu pimpinan perusahan," kata Michael Jacobus perwakilan buruh sembari walk out dari tempat bernegosiasi.
Bahkan seorang buruh yang menggunakan seragam serikat buruh berwarna merah sempat emosi, pria itu mengangkat kursi kayu dan hendak melemparnya ke kaca bangunan perusahan namun tak berhasil karena dicegah.
Puncak kemarahan massa semakin menjadi saat para perwakilan keluar menemui massa, pintu gerbang yang dijaga petugas didorong bahkan para buruh bersikap anarkis hingga dua orang buruh sempat diamankan petugas.
Aksi unjuk rasa yang berlangsung berkali-kali dikarenakan pemecatan yang dilakukan oleh pihak perusahan terhadap 67 orang karyawan sejak tiga bulan yang lalu, mereka yang di PHK karena mempertanyakan upah yang dibayarkan tidak sesuai upah minimum provinsi (UMP) tahun 2015 serta hak-hak normatif lainnya berdampak pada kehidupan keluarga buruh yang di PHK menjadi memprihatinkan.
Seperti yang dirasakan Farida Inado (36) istri dari seorang buruh yang di PHK perusahan yang beralamatkan di Kelurahan Wangurer Timur lingkungan I Kecamatan Madidir. "Suami saya sudah 21 tahun kerja karena masalah UMP yang dibayarkan mengikuti UMP tahun 2014 dia (suami) di PHK sehingga saya sebagai istri menjadi korban," koar Farida saat demo berlangsung.
Lanjut istri dari Rahman Bahi keluhan sang suami yang berkeinginan memperoleh UMP tahun 2015 sebesar Rp 2,150,000 juta tidak dikasih sehingga nasib PHK ditanggung sang suami. Pasca-dipecat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari seperti biaya dua anak sekolah hingga bayar kredit sudah tak bisa. Rumah sudah mau dilelang karena tidak ada pemasukan dari suami untuk membayar cicilan senilai Rp 2,250,000 per bulan. "Untuk semua kebutuhan rumah tangga sekarang sudah tidak ada karena suami sudah di-PHK dan tidak ada penghasilan," tukasnya.
Rusdianto Makahinda perwakilan buruh yang berjuang untuk hak buruh menjelaskan awalnya hak para buruh yang dipecat meminta pembayaran UMP 2015, selanjutnya yang namanya PHK harus bayar pesangon sesuai dengan UU 13 tahun 2013 tentang ketenagakerjaan.
"Sudah kami beri solusi kalau tidak mampu bayar pesangon ditawarkan perusahan agar pekerjakan lagi karyawan, namun perusahan tidak mengindahkan malahan pihak perusahan merekrut karyawan lainnya untuk bekerja membuat eks karyawan yang di PHK sakit hati karena karyawan baru setiap pergi ke tempat kerja selalu lewat di depan rumah karyawan yang dipecat," jelas Rusdianto.
Terpisah Robert Sengke Tangkudung Lengkong kuasa hukum perusahan yang diutus pemilik perusahan untuk menghadapi tuntutan buruh menjelaskan permasalahan yang melilit perusahan milik pengusaha asal Negara Jepang dengan para eks karyawan sudah melalui proses hukum, sudah dimediasi lewat tripartit namun deadlock. Sehingga pihak perusahan menunggu proses hukumnya serta beritikad baik untuk membayar semua hak dari para karyawan yang dirumahkan. "Kami sudah menyiapkan uang rp 1 miliar untuk membayar semua hak dan keinginan seperti pesangon dan lainnya untuk mereka namun mereka tidak terima katanya tidak sesuai," terang Lengkong.
Menurutnya jumlah tersebut sesuai dengan kemampuan perusahan karena saat ini perusahan merugi dari hasil acounting publik merugi selama dua tahun belakangan ini ditambah dengan kebijakan moratorium kementerian kelautan dan perikanan membuat bahan baku untuk produksi sulit didapat. "Rp 1 m ini untuk membayar hak 67 orang karyawan yang di rumahkan. Dan kami tidak merasa melanggar undang-undang dan ketentuan yang berlaku silakan dibuktikan di pengadilan hubungan industrial kalau kami salah," tukasnya.manado.tribunnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar