TANDURUSA
merupakan satu di antara kelurahan di Kecamatan Aertembaga, Kota Bitung. Dari
pusat kota, daerah ini dicapai dalam waktu 15 menit.
Luasnya
376,31 hektare, dihuni 1.050 kepala keluarga dan 4.000 jiwa. Tandurusa berbatas
wilayah dengan hutan
lindung pada bagian utara, bagian selatan dengan Selat
Lembeh, sebelah timur dengan Kelurahan Makawidey, dan sebelah barat dengan
Kelurahan Aertembaga.
Tribun
Manado berusaha menggali asal muasal desa itu dengan menemui tetua kampung,
yakni Pieter Pontoh (74) yang kini berdomisili di Teling, Manado, dan Agus
Salikara (70), warga setempat.
Menurut
Pieter Pontoh, lewat cerita yang diceritakan orang tua serta tua-tua kampung
kepadanya, pemberian nama Tandurusa berawal dari lokasi perkebunan di tengah
hutan belantara yang akan digarap.
"Tahun
1942 orang-orang dari Bitung di bawah pimpinan Hendrikus Langelo datang ke
lokasi tersebut menggunakan perahu di pantai Tandurusa untuk melihat lahan yang
dibagi-bagi untuk digarap. Begitu turun dari perahu dari tepi pantai Hendrikus
melihat ke arah perbukitan lokasi yang akan diberikan pada masyarakat
dilihatnya ada cabang-cabang pepohonan yang bentuknya seperti tanduk rusa cabang
delapan," cerita Pontoh yang sering panggil Papa Tune.
Orang-orang
yang dibawa oleh Hendrikus Langelo disebut juga tumani Bitung, artinya
pendatang dari berbagai wilayah yang masuk ke Bitung. Kala itu pemerintah
Belanda sedang membagi penempatan kerja bagi orang-orang pribumi. Ada yang
sudah berkebun di bawah kaki Gunung Duasudara, ada juga yang baru datang dan
baru menikah sehingga tidak mendapat jatah untuk berkebun.
Sebanyak
22 keluarga baru kemudian dikirim ke wilayah Tandurusa karena sudah tidak ada
tempat lagi di wilayah Bitung untuk digarap. Saat itu kebun belum langsung
digarap karena terlebih dahulu harus diurus administrasinya.
Seiring
berjalannya waktu, oleh warga perkebunan itu dinamakan perkebunan Tandurusa
karena terinspirasi dengan apa yang dilihat Hendrikus Lengelo terhadap cabang
pepohonan yang berbentuk tanduk rusa. Di lokasi itu juga memang banyak
ditemukan rusa.
"Ya,
di sekitar kebun banyak sekali rusa dan babi hutan. Bahkan hewan-hewan ini
sering bermain-main di kebun, pantai, hingga menyeberang ke Pulau Lembeh. Jika
berpapasan dengan warga sering menjadi buruan," tuturnya.
Pada
1954 seluruh masyarakat yang berkebun turun ke kampung yang kini menjadi
Kelurahan Tandurusa. Menurut Pontoh, Tandurusa awalnya merupakan sebuah kebun tua,
tidak tersentuh oleh warga sebelumnya karena status tanahnya erfpacht (milik
orang lain yang dikelola oleh pihak lain dalam jangka waktu lama dengan
kewajiban membayar uang atau pendapatan). Nanti pada 1954 saat masyarakat
berbondong-bondong turun dari kebun ke daerah itu barulah digarap hingga
menjadi suatu desa bernama Tandurusa.
"Hukum
tua pertama Paul Ruata. Dia merupakan juru tulis dari Bitung yang diboyong
memimpin Desa Tandurusa. Oleh masyarakat diberi nama sesuai dengan nama
perkebunan yang terletak di bagian atas perbukitan wilayah tersebut," kata
dia.
Saat
ini Kelurahan Tandurusa yang dipimpin Kepala Kelurahan bernama John Patrick
Suharto merayakan hari ulang tahun kelurahan pada 19 Februari, sesuai pemberian
surat keputusan pengesan desa. "Sekarang sudah tak terlihat lagi
cabang-cabang pohon yang berbentuk tanduk rusa cabang delapan," tukasnya.
Zaman
Permesta
Agus
Salikara (70), saksi sejarah Kelurahan Tandurusa lainnya, menjelaskan, setelah
menjadi desa masyarakat sempat merasakan pergolakan Permesta pada 1957. Kala
itu masyarakat harus mengungsi ke Bitung Lembeh dan daerah Batuputih.
"Terjadi perang 16 Juni 1958 selama dua tahun ada juga yang mengungsi ke
kebun," cerita Agus.
Pria
yang kini menjabat Kepala Lingkungan V Kelurahan Tandurusa menceritakan, saat
terjadi pergolakan, tentara Permesta mundur ke kebun, sedangkan masyarakat
keluar dari kebun. Setelah Permesta menyerah pada 1960 masyakarat pulang ke
Tandurusa. Waktu itu pemerintahan berada di bawah Kecamatan Kauditan, Disktrik
Tonsea.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar