Kamis, 31 Desember 2015

” Demokrasi Nasi “



Di penghujung 2015 ini, redaksi bitungnews.com sengaja mengangkat tajuk “Demokrasi Nasi”, bukan semata-mata menjiplak salah satu Judul lagu Iwan Fals (1978). Namun lebih sebagai bahan perenungan bagi kita bersama, mengingat tahun 2015 merupakan tahun politik. Sebanyak 264 Daerah di pelosok Nusantara menggelar Pilkada serentak, pada 9 Desember silam, termasuk di Kota Bitung.

Hiruk-pikuk Pilkada kini sudah mulai mereda, masyarakat kini beraktifitas normal seperti sedia kala. Namun senyum dan tawa menjadi milik pemenang Pilkada, meskipun masih banyak PR sesuai janji kampanye, mesti dikerjakan. Terutama masalah kesenjangan sosial yang rentetannya bermuara pada kualitas demokrasi saat ini dan di masa mendatang.

Pilkada baru-baru ini menjadi cermin dari ” demokrasi nasi “, karena sebagian besar rakyat menghadapi kelesuan ekonomi, sehingga lapar hari ini harus diatasi meski harus mengorbankan makna demokrasi. Mau tidak mau, suka tidak suka, inilah buah reformasi 1998.

Reformasi 1998 dipicu liberalisasi ekonomi yang ditandai dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dikenalkan oleh Rezim Orde Baru, di awal 80-an. Kemudian muncul orang-orang super kaya baru, yang tak lain adalah anak, ipar, kerabat dekat pejabat. Kesenjangan ekonomi menjadi bahan bakar reformasi, hingga Rezim Orde Baru runtuh.

Ekspektasi rakyat saat transisi menuju demokrasi pada 1998, agar kesenjangan ekonomi dapat teratasi seperti mukjizat yang tersumbat. Karena tidak ada program sistematis dari pemerintah untuk melawan kesenjangan ekonomi. Justru para pemodal (orang kaya), memiliki kesempatan luar biasa untuk menduduki posisi penting dalam politik, baik sebagai anggota legislatif maupun eksekutif. Dengan memegang jabatan-jabatan strategis mereka mendapatkan privelege (keistimewaan) dalam menjalankan usaha.

Jika tidak tergiur dengan jabatan-jabatan politis, para orang kaya ‘memodali’ politisi untuk menduduki jabatan strategis, dengan hubungan patron-client. Buntutnya, mereka memetik jerih-payahnya untuk mendapatkan hal yang sama, yakni privelege. Lebih parah lagi, mereka memiliki kekuasaan mendikte kebijakan strategis yang menguntungkan usahanya.

Politik pencitraan pemerintah, yang berbasis tinggi pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang usang. Karena semua rezim selalu mengklaim pemerintahan mereka berhasil dengan angka pertumbuhan ekonomi di atas 6 % per tahun. Padahal pertumbuhan ekonomi tersebut tak pernah dikenyam rakyat kelas bawah, hingga kesenjangan ekonomi kian menjadi-jadi, “yang kaya makin kaya, yang miskin makin miskin”.

Harapan dan Hambatan

Kita semua di daerah yang baru saja menggelar Pilkada serentak, berharap besar kepada para pemimpin baru, untuk mengurangi kesenjangan sosial. Meskipun mereka terpilih masih dalam paradigma “demokrasi nasi”. Paling tidak mereka menyisihkan kebijakan konkret, untuk benar-benar mengurangi kesenjangan sosial, selain mengembalikan ‘modal’ dari investor. Jika ini terjadi mereka menjadi pemimpin yang berhasil, karena pada 5 tahun mendatang, tidak ada lagi rakyat yang tergiur dengan ‘upeti politik’ untuk memilih pemimpin. Dan jika ‘demokrasi nasi’ masih berlanjut, mereka merupakan pemimpin yang gagal.

Sedangkan hambatan utama, transisi menuju demokrasi yakni tidak adanya Partai Politik yang secara terstruktur mewakili perjuangan rakyat miskin. Janji-janji manis para calon pemimpin, untuk meningkatkan keadilan dan kesejahteraan masyarakat, dengan program bantuan sosial yang disalurkan melalui organisasi massa dan keagamaan, hadiah individu saat pemilu, hanya bersifat sementara. Modus praktek politik inilah yang sesungguhnya melanggengkan kekuasaan pemilik modal atau orang kaya. sumber:bitungnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar