Di penghujung 2015 ini, redaksi
bitungnews.com sengaja mengangkat tajuk “Demokrasi Nasi”, bukan semata-mata
menjiplak salah satu Judul lagu Iwan Fals (1978). Namun lebih sebagai bahan
perenungan bagi kita bersama, mengingat tahun 2015 merupakan tahun politik.
Sebanyak 264 Daerah di pelosok Nusantara menggelar Pilkada serentak, pada 9
Desember silam, termasuk di Kota Bitung.
Pilkada baru-baru ini menjadi cermin
dari ” demokrasi nasi “, karena sebagian besar rakyat menghadapi kelesuan
ekonomi, sehingga lapar hari ini harus diatasi meski harus mengorbankan makna
demokrasi. Mau tidak mau, suka tidak suka, inilah buah reformasi 1998.
Reformasi 1998 dipicu liberalisasi
ekonomi yang ditandai dengan laju pertumbuhan ekonomi yang tinggi, dikenalkan
oleh Rezim Orde Baru, di awal 80-an. Kemudian muncul orang-orang super kaya
baru, yang tak lain adalah anak, ipar, kerabat dekat pejabat. Kesenjangan
ekonomi menjadi bahan bakar reformasi, hingga Rezim Orde Baru runtuh.
Ekspektasi rakyat saat transisi menuju
demokrasi pada 1998, agar kesenjangan ekonomi dapat teratasi seperti mukjizat
yang tersumbat. Karena tidak ada program sistematis dari pemerintah untuk
melawan kesenjangan ekonomi. Justru para pemodal (orang kaya), memiliki kesempatan
luar biasa untuk menduduki posisi penting dalam politik, baik sebagai anggota
legislatif maupun eksekutif. Dengan memegang jabatan-jabatan strategis mereka
mendapatkan privelege (keistimewaan) dalam menjalankan usaha.
Jika tidak tergiur dengan jabatan-jabatan
politis, para orang kaya ‘memodali’ politisi untuk menduduki jabatan strategis,
dengan hubungan patron-client. Buntutnya, mereka memetik jerih-payahnya untuk
mendapatkan hal yang sama, yakni privelege. Lebih parah lagi, mereka memiliki
kekuasaan mendikte kebijakan strategis yang menguntungkan usahanya.
Politik pencitraan pemerintah, yang
berbasis tinggi pertumbuhan ekonomi merupakan sesuatu yang usang. Karena semua
rezim selalu mengklaim pemerintahan mereka berhasil dengan angka pertumbuhan ekonomi
di atas 6 % per tahun. Padahal pertumbuhan ekonomi tersebut tak pernah dikenyam
rakyat kelas bawah, hingga kesenjangan ekonomi kian menjadi-jadi, “yang kaya
makin kaya, yang miskin makin miskin”.
Harapan dan Hambatan
Kita semua di daerah yang baru saja
menggelar Pilkada serentak, berharap besar kepada para pemimpin baru, untuk
mengurangi kesenjangan sosial. Meskipun mereka terpilih masih dalam paradigma
“demokrasi nasi”. Paling tidak mereka menyisihkan kebijakan konkret, untuk
benar-benar mengurangi kesenjangan sosial, selain mengembalikan ‘modal’ dari
investor. Jika ini terjadi mereka menjadi pemimpin yang berhasil, karena pada 5
tahun mendatang, tidak ada lagi rakyat yang tergiur dengan ‘upeti politik’
untuk memilih pemimpin. Dan jika ‘demokrasi nasi’ masih berlanjut, mereka
merupakan pemimpin yang gagal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar