Sabtu, 10 Oktober 2015

HUT Bitung ke 25, Antara Harapan dan Kenyataan



Tak terasa kota Bitung, Sulawesi Utara, sudah berumur seperempat abad atau 25 tahun. Hari ini Sabtu, 10 Oktober 2015, hajatan seremonial Sidang Paripurna Istimewa DPRD dalam rangka HUT kota Bitung digelar. Walikota Bitung Hanny Sondakh, yang sementara berobat di Singapore memaksakan diri pulang ke kampung halaman.

Namun bukan acara ceremonial tersebut yang
bitungnews.com akan bahas dalam HUT Bitung ke-25, namun PR dari eksekutif dan legislatif yang lebih banyak mengejar berbagai penghargaan dan pencitraan.

Sebut saja Adipura, jenis penghargaan untuk kota sedang terbersih, telah disabet kota Bitung sebanyak 7 kali. Namun kenyataannya kesadaran masyarakat untuk tak membuang sampah di selokan dan pantai masih rendah. Perairan kota Bitung semakin hari semakin penuh dengan sampah.

Selat Lembeh yang menjadi salah satu destinasi pariwisata dan penelitian divers international, kini penuh dengan sampah. Dan seringkali oli bekas atau tumpahan minyak mengambang di perairan tersebut.Seyogyanya pemerintahan mendatang lebih fokus menanamkan kesadaran kepada masyarakat akan pentingnya perairan bagi biota laut dan ekonomi.

Carut-marut dunia pendidikan kita lebih mengenaskan. Program wajib belajar dan sekolah gratis masih menjadi jargon. Masih lekat dalam ingatan kita kasus operasi tangkap tangan aparat kepolisian di SMP Negeri 1 Girian. Salah satu sekolah favorit tersebut mewajibkan orang tua murid yang masuk cadangan membayar meja bangku 500 ribu/ siswa.

Dan yang paling tragis adalah nasib para guru honor SDN Inpres 10, mereka melaksanakan kewajiban mengajar namun hak gaji yang hanya Rp 510 ribu/ bulan, tertahan 5-3 bulan. Gaji mereka berasal dari APBN yakni Bantuan Operasional Sekolah. Pemerintah Daerah setempat ternyata tak memberikan sesuatu atas pengabdian mereka.

Di bidang kesehatan, keberadaan RSUD Manembo-Nembo lebih fokus profit oriented, bukan pelayanan. Keluhan demi keluhan dari masyarakat miskin seperti tak ada habisnya. Masyarakat kurang mampu sering mengeluh ‘bisnis’ dokter yang meresepkan obat paten. Padahal obat generik lebih terjangkau dan ditanggung oleh KIS. Alasan tenaga medis obat generik habis. Obat-obatanpun ternyata dari APBN melalui Kemenkes. Artinya APBD tak menganggarkan untuk obat-obatan.

Yang lebih ironis lagi, ternyata di kota Bitung ini banyak warga yang meninggal di Kauditan atau Airmadidi, karena harus dirujuk ke RSUP Manado. Sangat urgen bagi pemerintah berikut, untuk investasi alat dan tenaga medis dengan APBD multi year, hingga menjadikan RSUD Manembo-nembo sebagai Rumah sakit rujukan.

Dan masih banyak lagi tantangan yang harus diselesaikan pemerintahan mendatang, demi kesejahteraan  dan keadilan masyarakat kota Bitung. sumber:bitungnews.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar